Si Hitam, Batu Satam. Armagedon Baru (Indosiar.com)
***
Indosiar.com Nah, hasil tabrakan meteor dengan bumi
itu, rupanya menjadi serpihan-serpihan yang berkilauan bagaikan batu
kaca, yang menyebar ke segala penjuru permukaan bumi seperti di
Indonesia di Pulau Belitung, didekat Solo dan negara-negara lain seperti
Australia, Cekoslavia, dan Arab. Salah satu batu berkilauan itu dikenal
dengan nama Batu Satam, yang hanya dapat ditemui di Pulau Belitung.
Batu langka berwarna hitam dengan urat-uratnya yang khas, menjadi daya
tarik tersendiri jika kita berkunjung ke pulau penghasil timah itu.
Batu satam ini mungkin hanya satu-satunya yang ada didunia. Di Pulau
Belitung sendiri, tidak mudah untuk mendapatkan batu satam, apalagi
untuk dijadikan kerajinan. Biasanya para perajin mendapatkan batu satam
dari para penambang timah darat, yang menemukan satam ini secara
kebetulan dari perut bumi dengan kedalaman 50 meter.
Mereka pun menemukannya secara tak sengaja, terbawa oleh pipa pompa
penghisap air yang diarahkan ke sakan yaitu tempat untuk memisahkan
pasir dan timah.
Istilah satam diambil dari bahasa warga keturunan Cina yang berada di Pulau Belitung.
SA yang artinya pasir, sedangkan TAM artinya empedu. Jadi satam berarti empedu pasir.
Sementara warga pribumi Belitung sendiri mengartikan satam adalah Batu hitam.
Namun berdasarkan keterangan dari buku De Ontwikkling Van Het Eiland
Billiton-Maatschappij karangan Door J.C. Mollema yang diterbitkan S.
Gravenhage, Martinus Nijhoff 1992, menuliskan seorang berkebangsaan
Belanda yang bernama Ir. N Wing Easton dari Akademi Amesterdam di
Belanda menamakan bebatuan meteor ini dengan istilah Billitonite yang
artinya batu dari Pulau Belitung.
Di kalangan masyarakat Belitung sendiri, batu satam ini dipercaya
mempunyai kekuatan magis sebagai penangkal penolak racun dan unsur
makhluk-gaib. Namun bagi wisatawan yang berkunjung ke Pulau Timah ini,
selalu menyempatkan diri membeli batu satam ini sebagai cendramata khas
Pulau Belitung, yang dijadikan kalung, giwang, bros, cincin, tasbih,
tongkat komando dan sebagainya, yang dikenal dengan istilah Kerajinan
Satam.
Salah seorang perajinan batu satam itu adalah Firman Zulkarnain, yang
biasa dipanggil Firman Satam. Pria kelahiran Pulau Belitung yang
tinggal di Desa Pangkalalang Tanjungpandan ini, telah menekuni usaha
kerajinan batu satam selama 19 tahun.
Bahkan dengan kerajinan batu satamnya, Firman berhasil membawa nama
Pulau Belitung ke ajang pameran-pamera nasional maupun internasional.
Berbagai penghargaan juga telah diterimanya. Salah satunya adalah Asean
Development Citra Award 2007-2008, yang dianugerahi oleh Asean programme
Consultant Indonesia Consortium.
Meski tanpa dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung,
Firman tetap mempromosikan souvenir khas dari kelahirannya itu, seperti
di Jakarta Fair 2008. Menurut Firman, para pengunjung sangat antusias
untuk membeli ataupun sekedar melihat-lihat kerajinan satam yang dijual
mulai dari harga 100 ribu sampai satu juta rupiah (harga promo tersebut hanya saat pameran).
Sayangnya, oleh orang-orang tak bertanggung jawab, banyak banyak
dijual batu satam yang palsu, demi mendapatkan keuntungan semata. Untuk
mengetahui satam yang asli, letakkan telapak tangan Anda diatas satam,
jika terasa ada medan energi, itulah Satam yang asli.(Arizal
Wahyudi/Ijs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar